“Jangan Tuhaaaan jangan hukum aku… jangan ambil istriku… aku tak bisa hidup tanpa dia…. Ampuni aku Tuhaaaan.”
“Mas… mas… bangun, mimpi buruk ya ?”.
“Hah.. mimpi ???. Oh… syukurlah… Cuma mimpi.”
Kupandangi wajah disampingku yang sedang tersenyum, kucium dan kupeluk erat² takut Tuhan jadi melaksanakan niatNya dalam mimpiku tadi.
“Ayo… cepat bangun, sudah siang. Nanti terlambat ke kantor. Sarapan dulu baru mandi, semua sudah aku siapkan”. Lagi² suara perempuan itu menyadarkanku bahwa ini nyata, bukan mimpi.
“Hati² di jalan ya, selamat bekerja. Jangan lupa dimakan bekalnya, makan siang jangan terlalu banyak makan lauk yang digoreng, kan lagi panas dalam, katanya penuh sayang.”
Pelan² kujalankan roda kendaraan yang akan membawaku ke kantor, tempatku berkutat dengan kerja dan terkadang orang² yang menyebalkan. Tempatku mengharapkan bayaran setiap bulannya, tempatku memberikan pemikiran² terbaikku bagi perusahaan.
Lamat² kudengar syair lagu di radio “So much to do, if I only had time, if I only had time. Dreams to pursue, if I only had time, they’ be mine….. Since I met you I thought, Life really is too short... But loving you, so many things we could make true…. One whole century isn’t enough to satisfy me…….”
Tuhan, betulkah lagu itu masih berlaku bagiku ? Sudah terlalu banyak waktu yang Engkau berikan untukku tapi hanya kubiarkan berlalu sia².... If I only had time….. masihkah aku punya waktu untuk memperbaiki diriku Tuhan ? Tak terasa pelan² air mataku bergulir di pipi. Kembali teringat kata² lagu tadi “But loving you, so many things we could make true….” Seolah mimpi tadi malam kembali kualami….
Seharian aku berkutat dengan pekerjaanku terkadang teringatpun tidak aku dengannya. Yang ada di benakku, pastinya dia sedang mengurus rumah. Itu saja. Entah dia sudah makan, entah dia sakit ya aku tidak terlalu peduli… Toh aku sudah memberinya cukup uang pikirku … Waktu merangkak begitu cepat, pagi berganti siang, dan siang disusul sore akhirnya malam sudah diambang pintu menggantikannya. Jam berputar seakan berkejaran.
Jam tanganku menunjukkan waktu pukul 20.00 dan masih setumpuk pekerjaan yang harus selesai segera karena besok aku yang ditunjukkan untuk mewakili perusahaan dalam berpresentasi. .. Tiba² ponselku berbunyi “Hallo… ya… ada apa? Malam ini ? Dimana ?... Oke… oke aku datang, tunggu ya.” Si Badu memberitahuku bahwa ada kumpul² dengan beberapa teman di sebuah resto.
Akhirnya pukul 21.00 aku melesat meninggalkan kantor. Ah senangnya bertemu lagi dengan teman² lama. Ngobrol sana sini, tertawa ter-pingkal² waktu ada yang mengingatkan kejadian konyol yang kami lakukan dulu, hingga tak terasa jam tanganku menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Setelah berjanji akan bertemu lagi segera, dengan langkah gontai aku menuju tempat parkir, kupacu kendaraanku karena kantuk kian menyerang.
“ Sudah pulang mas ? Sudah makan ? Minummu pasti sudah dingin, biar aku ganti yang hangat ya ?”
Dengan ter-huyung² istriku keluar kamar dengan mata yang tidak bisa dipungkiri ngantuk berat….
Habis mandi, aku langsung masuk kamar untuk tidur.. Kulihat istriku dengan senyum berusaha menahan kantuknya menunggu aku selesai mandi.
“Mas capek ya ? Banyak pekerjaan ya sampai pulang larut, sudah makan?”
“Hmm..”, jawabku pendek. Tanpa babibu aku langsung tidur karena tenagaku terkuras seharian ini. Aku masih merasakan pijatannya, sampai aku terlelap tak ingat apa² lagi.
Keesokan harinya aku terkejut karena sudah jam 07 pagi sementara aku harus presentasi jam 08..00. Bagai kesetanan, kucari istriku. Dia kutemui di dapur sedang menyiapkan sarapan. “Sudah bangun mas ?”
“Apa susahnya sih membangunkanku lebih pagi ? Tahu enggak pagi ini aku harus presentasi seharusnya kamu tahu dong tugasmu. (Padahal bukankah tadi malam aku langsung tertidur pulas tanpa sempat memberitahu rencanaku pagi ini?) Cepet siapkan bajuku !!!”
Untunglah aku tiba 30 menit sebelum waktu presentasi.
Dua jam berlalu, akhirnya aku keluar dari ruang presentasi dengan perasaan lega karena semua berjalan dengan baik. Tiba² aku baru sadar perutku sudah berbunyi minta segera diisi karena belum sebutir pun nasi kutelan. Teringat bekal yang sudah dibungkus istriku karena melihatku ter-gopoh². Ketika dia memberikannya padaku, bukan terima kasih yang diterimanya, tapi bentakanku yang membuatnya tersentak “Kamu lagi, orang udah buru²begini malah ngerepotin aku pake disuruh bawa bekal segala. Makan aja sendiri !”
Rasa bersalah kian menghujam hatiku. Sambil berjalan menuju kantin, aku mengaktifkan kembali ponselku dan ada beberapa sms yang ternyata pesan dari istriku “Mas, hati-hati jangan ngebut ya. Tadi sekitar jam 05.30 saya sudah membangunkan mas karena menurut mas akhir² ini macetnya makin parah tapi mas tetap tidak bangun.”
Lalu disusul sms berikutnya “Mas, jangan lupa sarapan ya. Minum teh manis hangat juga”.
Tawa dan kesenangan bisa kubagi dengan teman² diluar sana. Selalu ada waktu untuk mendengarkan curhat mereka. Tetapi buat dia, orang yang hanya menerima segala ketidakadilan itu dengan diam, aku tidak pernah ada waktu. Yang kubawa pulang hanya kekesalan, keletihan dan ketidaksabaran karena terkadang dia kuanggap terlalu bodoh.. Jadi buat apa aku membicarakan pekerjaanku, kejadian² di kantor, teman²ku, toh dia tidak mengerti menurutku. Dan aku tidak membutuhkan sarannya untuk memutuskan apapun yang akan kulakukan, acaraku, dengan siapa aku ingin bertemu, atau bahkan penghamburan² untuk membayar semua kesenangan dan kebanggaan.
“Tuhaaan… ibliskah aku ? Monsterkah aku yang sudah tidak punya hati nurani ? Pendamping yang sudah kau berikan, permata yang amat berharga, sudah kucampakkan ke dalam comberan bukan kujaga serta kurawat baik². Sudah lupa daratankah aku?”
“Tuhaaan salahkah pendidikan yang telah kuterima sejak aku kecil hingga inilah caraku menghargai seorang istri ? Jika anak perempuanku diperlakukan seperti ini oleh suaminya, pasti hancur hatiku “.
“Tuhaaaan, ampuni aku. Ternyata tanpa kusadari aku telah berlaku kejam terhadap istriku. Perempuan yang dulu membuatku mau melakukan apapun demi mendapatkannya, namun kini ku-sia²kan.. Jangan ambil dia Tuhan, aku memerlukannya untuk mengajariku apa itu peduli, apa itu kerendahan hati, apa itu kepekaan, dan untuk menguatkanku menghadapi hari²ku. Dia sudah begitu tabah mendampingiku selama ini, tapi apa yang diperolehnya ? Apakah dia bahagia hidup bersamaku Tuhan ?”
Tak pernah kutanyakan apa yang dia ingin aku lakukan untuknya. Aku hanya membutuhkannya untuk mengurus keperluanku, padahal apa yang kumiliki saat ini kuyakini karena dia. Namun ia ternyata hanyalah sesuatu yang ada dalam kehidupanku. Dia bukanlah seseorang yang menjadi prioritas hidupku. Perempuan lemah yang hanya bisa menjerit dalam hati dan menggigit bibirnya keras² agar tangisnya tak terdengar. Perempuan yang hanya menelan segala kepiluan dalam bisu. Padahal seharusnya aku selalu ada untuk melindunginya.
Apa yang harus kukatakan jika aku mati dan ENGKAU bertanya padaku TUHAN,” Apakah engkau suami yang baik? AKU akan mengambil istrimu kembali karena KU lihat engkau tidak memerlukannya lagi. Biarlah dia bahagia bersama KU di surga.”
So much to do, if I only had time… only time..
Istriku, maafkan aku sayang .. Aku suami tak tahu diri. Beri aku kesempatan untuk menebus kesalahanku selama ini. Pandanganku kian kabur oleh air mata. Tiba² ponselku berbunyi ada sms yang masuk… ternyata dari kakak iparku, isinya “Istrimu mengalami kecelakaan tadi waktu menyebrang di depan pasar. Dia ada di ICU RS …..”
Aku menjerit sekuat tenagaku ‘”Tuhaaaaaan ………..”
(Sweet memory of my beloved wife, diterjemahkan oleh : Singgaraningnyowo
Disadur dari sebuah artikel majalah wanita )