Aroma laut dan bau amis menyambut kedatangan kami. Baru saja turun dari kapal , para calo-calo pengangkut barang berbondong-bondong menyerbu menawarkan jasanya. Tentu saja kami tidak tergoda, tas dan barang-barang bawaan tetap kami bawa masing-masing ke mobil yang sudah menanti di luar pelabuhan. Tanjung pinang terletak di pulau Bintan merupakan ibu kota provinsi kepulauan Riau. Beragam kultur budaya suku dengan bahasa melayu yang masih tergolong klasik dan sedikit unik terdengar di telinga orang-orang dari luar kota, memiliki daya tarik tersendiri. Banyak juga ditemui warga negara keturunanTionghua yang tentu saja fasih berbahasa melayu. Dekat dengan negara tetangga Malaysia dan Singapura memberi keuntungan tersendiri buat kemajuan kota ini. Ada beberapa tempat wisata menarik di kota ini, antara lain: pulau Penyengat yang berjarak kurang lebih 8 mill dari pelabuhan, juga ada pantai Trikora dengan pasir putihnya.
Salah satu tempat wisata yang kami kunjungi adalah pulau penyengat yang dapat dituju menggunakan perahu mesin dari pelabuhan selama kurang lebih 45 menit. Ada pengalaman lucu ketika kami berada di perahu menuju pulau ini, pengemudi perahu menyarankan untuk meminum air laut yang dilalui, konon akan mengurangi resiko bagi yang mabuk laut. Kami hanya tersenyum , tapi tak satupun dari kami yang melakukan saran si bapak tersebut. Kami lebih memilih berkonsentrasi menikmati perjalanan yang sesekali melewati ombak-ombak kecil yang menggoyangkan perahu.
Dari kejauhan menjelang tiba di pulau indah ini, sudah tampak menara-menara mesjid yang hanya berjarak sekitar 50m dari dermaga pulau. Minaret mesjid yang dibangun tahun 1818 itu merupakan bangunan tertinggi di pulau ini. Nuansa kuning dan hijau yang identik dengan warna khas melayu tentu saja terlihat dominan pada bangunan mesjid yang berkonstruksi putih telur ini. Suasana lingkungan tampak asri, udara bersih dan segar melengkapi kenyamanan pulau ini, ditambah lagi keramah-tamahan penduduk setempat sehinnga membuat para pelancong betah berlama-lama menikmati keindaha pulau eksotis ini. Tidak seperti daerah-daerah dekat laut umumnya yang biasanya berhawa panas, penyengat berhawa sejuk dan segar. Berbagai jenis pepohonan tumbuh subur di pulau yang berpenduduk sekitar 2.071 jiwa tersebut. Tidak ditemukan adanya bangunan hotel ataupun penginapan-penginapan yang umum tersedia di daerah-daerah wisata, hal ini disebabkan untuk mencegah masuknya arus kebudayaan dan pergaulan dari daerah lain. Biasanya warga setempat bersedia menerima pengunjung untuk beristirahat di rumah mereka. Begitu juga dengan rombongan kami.
Asal usul cerita rakyat, kata ”penyengat” diambil dari nama sebangsa serangga yang memiliki sengat. Dalam buku Salasilah pulau Penyengat Indera sakti karya Lukmanul Hakim Putera, jenis hewan penyengat tersebut adalah Ropalidia spp, Vespa auravia & Provespa Anomala. Alkisah pulau ini pernah dikunjungi pelaut. Saat mengambil air minum mereka diserang ratusan serangga berbisa berukuran sekepalan tangan, sampai tubuh mereka bengkak-bengkak. Binatang dan pulau tersebut akhirnya dijuluki dengan nama penyengat. Sekarang tidak dijumpai lagi serangga yang biasanya bersarang di dalam tanah tersebut disekitar pulau ini.
Puas mengitari dan mendokumentasikan bangunan mesjid ( biasa juga disebut istana Penyengat), kami yang diantar berjalan kaki, akhirnya sampai di komplek makam keluarga istana. Makam yang paling terkenal adalah makam Raja Hamidah, yang juga dikenal sebagai Engku puteri, permaisuri Sultan Mahmud Syah III yang berkuasa di Riau Lingga pada tahun 1760-1812. menurut hikayat pulau penyengat merupakan emas kawin yang diberikan Sultan Mahmud Syah III ketika menikahi Raja Hamidah. Sekitar Bangunan makam terdapat kain-kain berwarna kuning dan hijau. Batu nisannya dibungkus dengan kafan putih menguatkan kesan keterpeliharaan dari makam ini. Suasana komplek pemakaman sepi dari pengunjung. Makam yang dikelilingi bangunan tua dengan arsitektur kolonial Belanda cukup untuk membuktikan bahwa pulau ini memiliki nilai sejarah yang tinggi.
Tujuan perjalanan berikutnya adalah daerah perbukitan nan indah yang disebut Bukit Kursi, selain pesona pemandangan yang elok, di bukit ini terdapat beberapa meriam tua di penjuru pulau. Kami diperbolehkan untuk duduk-duduk di atas meriam sambil menikmati pemandangan dan laut. Angin bertiup sepoi-sepoi membuat suasana terkesan damai. Capek dan lelah berkeliling serasa hilang oleh sejuknya tiupan angin.
Wisata di pulau eksotis ini berakhir menjelang maghrib. Esok paginya rombongan kami akan kembali ke kota Tanjung pinang, tentu saja sebelumnya membeli kenang-kenangan berupa souvenir khas penyengat, seperti gantungan kunci, bingkai foto, cermin dinding yang semuanya dihiasi binatang- binatang laut seperti, rumah siput/gonggong serta kalung dan gelang dari batu-batu indah yang harganya cukup terjangkau. Neng Herawati
kayanya asyik juga ke pulau penyengat
BalasHapustapi namanya koq serem ya...PENYENGAT
emang banyak serangga disana...???